Sebagian besar masyarakat Bali adalah pemeluk agama Hindu, sehingga memengaruhi segala kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Dalam agama Hindu pernikahan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup yang yatha sakti keyika dharma. Maksudnya dengan kemampuan sendiri melaksanakan dharma. Jadi pemeluk Hindu yang ingin mewujudkan dharmanya, harus berusaha dengan kemampuan sendiri atau mandiri. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus dipersiapkan dengan matang oleh seorang pemeluk Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Menurut agama Hindu perkawinan mempunyai dua tujuan hidup yang dapat dicapai secara bersamaan. Tujuan tersebut adalah mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma. Oleh karena itu, dia harus mendapatkan bimbingan dari seseorang yang memahami ajaran Hindu. Dengan pengetahuan dan bimbingan tersebut, seseorang yang akan menikah dapat melaksanakan pernikahan dengan baik dan tidak mendapat rintangan yang mungkin dapat menghambat prosesi pernikahan.
Dalam agama Hindu dikenal tingkatan kasta dan dadia yang menunjukkan tingkat keberadaan seseorang. Perkawinan di Bali sangat dipengaruhi oleh kasta dan dadia seseorang. Pernikahan yang ideal adalah pasangan pengantin tersebut berasal dari dadia dan kasta yang sama atau sederajat. Pasangan pengantin ini akan mudah mendapat restu dari masing-masing keluarga dan agama.
Apabila pasangan pengantin berasal dari kasta dan dadia yang berbeda tidak diperbolehkan menikah di Bali. Oleh karena itu, pasangan yang berbeda dadia dan kasta akan melakukan pernikahan di tempat lain (pulau lain) yang disebut dengan kawin lari. Pernikahan beda kasta dan dadia ini tidak dilaksanakan dengan upacara adat pernikahan Bali.
Masyarakat Bali juga mengenal prosesi melamar, yng disebut dengan ngidih atau memadik. Pada hari yang telah ditentukan bersama, keluarga dan kerabat pihak laki-laki akan datang ke rumah pihak perempuan. Mereka akan membicarakan keinginan mereka untuk meminang anak gadis si tuan rumah dan dinikahkan dengan anak lelakinya.
Selama lamaran tersebut diterima, keluarga pihak laki-laki akan datang kembali ke rumah pihak perempuan untuk pembicaraan lebih lanjut. Pada pertemuan tersebut akan dibicarakan tentang tata laksana pelaksanaan upacara adat perkawinan. Setelah kesepakatan diperoleh, calon pengantin wanita dibawa pulang ke rumah calon pengantin laki-laki. Upacara adat perkawinan Bali biasanya dilaksanakan di rumah keluarga laki-laki.
Seorang calon pengantin wanita akan tinggal di rumah calon suaminya tiga hari hingga diadakan upacara perkawinan. Seorang pemangku adat (pinandhita) akan memimpin upacara pengesahan pernikahan tersebut menurut aturan agama Hindu Bali. Upacara ini disebut mekala-kalaan Upacara ini memiliki makna sebagai pengesahan pasangan pengantin melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai. Upacara ini hanya dihadiri keluarga dekat pengantin.
Semua peralatan yang digunakan dalam upacara mekala-kalaan memiliki arti dan simbol tersendiri bagi masyarakat Bali. Peralatan dan simbol yang tersimpan dalam upacara adat perkawinan Bali adalah sebagai berikut.
Upacara mekala-kalaan dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki. Setelah selesai dilanjutkan dengan upacara yang lebih besar di sanggah (pura)
keluarga. Makna upacara tersebut adalah menyampaikan kepada para leluhur yang bersemayam di sanggah tersebut, bahwa ada satu pendatang baru yang akan menjadi keluarga dan akan melanjutkan keturunannya.
Upacara ini dihadiri oleh seluruh anggota banjar dari pihak laki-laki dan seluruh keluarga pihak perempuan. Dalam masyarakat Bali, banjar merupakan salah satu sistem kemasyarakatan. Banjar merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah.
Upacara yang lebih besar ini biasanya diikuti dengan upacara mepamit (perpisahan). Upacara mepamit diadakan di sanggah pihak keluarga perempuan. Upacara mepamit adalah upacara yang dilakukan oleh pengantin wanita untuk meminta ijin (pamit) kepada leluhurnya. Pengantin wanita telah menikah dan menjadi milik serta tanggung jawab keluarga suminya.
Upacara perpisahan tersebut merupakan acara penutup rangkaian upacara perkawinan menurut adat Bali. Pencatatan di Kantor Pencatatan Sipil tetap dilakukan oleh pasangan pengantin. Sehingga pernikahan yang mereka laksanakan akan resmi secara agama dan diakui oleh pemerintah.
Menurut agama Hindu perkawinan mempunyai dua tujuan hidup yang dapat dicapai secara bersamaan. Tujuan tersebut adalah mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma. Oleh karena itu, dia harus mendapatkan bimbingan dari seseorang yang memahami ajaran Hindu. Dengan pengetahuan dan bimbingan tersebut, seseorang yang akan menikah dapat melaksanakan pernikahan dengan baik dan tidak mendapat rintangan yang mungkin dapat menghambat prosesi pernikahan.
Dalam agama Hindu dikenal tingkatan kasta dan dadia yang menunjukkan tingkat keberadaan seseorang. Perkawinan di Bali sangat dipengaruhi oleh kasta dan dadia seseorang. Pernikahan yang ideal adalah pasangan pengantin tersebut berasal dari dadia dan kasta yang sama atau sederajat. Pasangan pengantin ini akan mudah mendapat restu dari masing-masing keluarga dan agama.
Apabila pasangan pengantin berasal dari kasta dan dadia yang berbeda tidak diperbolehkan menikah di Bali. Oleh karena itu, pasangan yang berbeda dadia dan kasta akan melakukan pernikahan di tempat lain (pulau lain) yang disebut dengan kawin lari. Pernikahan beda kasta dan dadia ini tidak dilaksanakan dengan upacara adat pernikahan Bali.
Masyarakat Bali juga mengenal prosesi melamar, yng disebut dengan ngidih atau memadik. Pada hari yang telah ditentukan bersama, keluarga dan kerabat pihak laki-laki akan datang ke rumah pihak perempuan. Mereka akan membicarakan keinginan mereka untuk meminang anak gadis si tuan rumah dan dinikahkan dengan anak lelakinya.
Selama lamaran tersebut diterima, keluarga pihak laki-laki akan datang kembali ke rumah pihak perempuan untuk pembicaraan lebih lanjut. Pada pertemuan tersebut akan dibicarakan tentang tata laksana pelaksanaan upacara adat perkawinan. Setelah kesepakatan diperoleh, calon pengantin wanita dibawa pulang ke rumah calon pengantin laki-laki. Upacara adat perkawinan Bali biasanya dilaksanakan di rumah keluarga laki-laki.
Seorang calon pengantin wanita akan tinggal di rumah calon suaminya tiga hari hingga diadakan upacara perkawinan. Seorang pemangku adat (pinandhita) akan memimpin upacara pengesahan pernikahan tersebut menurut aturan agama Hindu Bali. Upacara ini disebut mekala-kalaan Upacara ini memiliki makna sebagai pengesahan pasangan pengantin melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai. Upacara ini hanya dihadiri keluarga dekat pengantin.
Semua peralatan yang digunakan dalam upacara mekala-kalaan memiliki arti dan simbol tersendiri bagi masyarakat Bali. Peralatan dan simbol yang tersimpan dalam upacara adat perkawinan Bali adalah sebagai berikut.
- Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) istana Sang Hyang Widhi Wasa, ini merupakan istananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Di sebelah kanan halaman rumah digantungkan biyu lalung yang merupakan simbol kebajikan, ketampaanan, dan kebijaksanaa pengantin pria. Sementara di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem simbol kecantikan serta kebijaksanaan pengantin wanita.
- Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg). Kala Badeng simbol calon pengantin yang diletakkan sebagai alas upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
- Tikeh Dadakan (tikar kecil). Tikar yang diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita.
- Keris sebagai lambang kekuatan dari pengantin pria.
- Benang Putih dibuatkan sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Benang putih ini diibaratkan sebagai lapisan kehidupan. Dengan demikian pasangan pengantin ini siap meningkatkan alam kehidupannya menjadi tingkatan yang lebih tinggi.
- Tegen – tegenan. Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambilalihan tanggung jawab sekala dan niskala.
- Suwun-suwunan (sarana jinjingan). Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
- Dagang-dagangan melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut.
- Sapu lidi (3 lebih). Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, saling memperingatkan agar selalu melaksanakan ibadah dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup dalam berumah tangga.
- Sambuk Kupakan (serabut kelapa). Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Kedua mempelai saling tendang serabut kelapa tersebut sebanyak tiga kali. Setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Sambuk kupakan mengandung arti jika mengalami perselisihan agar dapat saling mengalah, serta cepat instrospeksi diri. Jika upacara selesai sabut kelapa itu disimpan di bawah tempat tidur mempelai berdua.
- Tetimpug adalah bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.
Upacara mekala-kalaan dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki. Setelah selesai dilanjutkan dengan upacara yang lebih besar di sanggah (pura)
keluarga. Makna upacara tersebut adalah menyampaikan kepada para leluhur yang bersemayam di sanggah tersebut, bahwa ada satu pendatang baru yang akan menjadi keluarga dan akan melanjutkan keturunannya.
Upacara ini dihadiri oleh seluruh anggota banjar dari pihak laki-laki dan seluruh keluarga pihak perempuan. Dalam masyarakat Bali, banjar merupakan salah satu sistem kemasyarakatan. Banjar merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah.
Upacara yang lebih besar ini biasanya diikuti dengan upacara mepamit (perpisahan). Upacara mepamit diadakan di sanggah pihak keluarga perempuan. Upacara mepamit adalah upacara yang dilakukan oleh pengantin wanita untuk meminta ijin (pamit) kepada leluhurnya. Pengantin wanita telah menikah dan menjadi milik serta tanggung jawab keluarga suminya.
Upacara perpisahan tersebut merupakan acara penutup rangkaian upacara perkawinan menurut adat Bali. Pencatatan di Kantor Pencatatan Sipil tetap dilakukan oleh pasangan pengantin. Sehingga pernikahan yang mereka laksanakan akan resmi secara agama dan diakui oleh pemerintah.